Angkutan barang melalui laut kembali menghadapi tantangan. Tarif angkutan spot kembali melonjak ke level tertingginya setelah pandemi. Per Juni 2024, Indikator World Container Index oleh Drewry, yang menggambarkan pergerakan tarif angkutan kontainer untuk delapan jalur maritim utama di dunia, mencatat kenaikan sebesar 73% secara bulanan (MoM), 181% tahunan (YoY), dan 22% sejak awal tahun (YTD). Melihat secara spesifik tarif angkutan kontainer berdasarkan jalur rute, rute Tiongkok-Eropa, Tiongkok-Pantai Barat Amerika Serikat (AS), Tiongkok-Pantai Timur AS, dan Tiongkok-Mediterania per Juni 2024 masing-masing mengalami kenaikan sebesar 49%, 62%, 56%, dan 32% jika dibandingkan dari bulan sebelumnya.
Hingga awal minggu pertama Juli 2024, Indeks Drewry sudah naik mencapai $5.868 per 40-feet. Angka tersebut masih berada di bawah angka puncak pandemi sebesar $10.377 per 40-feet pada bulan September 2021. Adapun lonjakan yang terjadi pada puncak pandemi itu adalah hasil kenaikan hampir 10 kali lipat dari kondisi normal. Menjadi pertanyaan, apa penyebab dari kenaikan ini dan apakah akan berlanjut hingga akhir tahun?
Peningkatan tarif angkutan laut ini, sebenarnya sudah terjadi dari akhir tahun 2023 kemarin akibat ketidakpastian dan ketegangan geopolitik di sepanjang Laut Merah dan Timur Tengah. Sebagai gambaran, laporan dari Bloomberg menunjukkan sembilan dari sepuluh Main Liner Operator (MLO) yang membawa 74% volume perdagangan global melakukan perubahan rute sebagian besar kapal kontainer dengan tidak melalui Terusan Suez dan Laut Merah untuk rute Asia – Eropa, dan Asia – Amerika. Perubahan rute tersebut dilakukan dengan memutari ujung Selatan Afrika yang melewati Cape of Good Hope. Sebagai catatan, jalur Terusan Suez di Laut Merah merupakan salah satu jalur penting untuk rute Asia – Eropa, dan Asia – Amerika yang membawa sekitar 12% volume perdagangan global melalui laut. Perubahan rute melalui ujung Selatan Afrika menambah 40% waktu tempuh atau setara dengan 10 hingga 12 hari perjalanan kapal.
Penambahan waktu tempuh memberi dampak kelangkaan peti kemas di beberapa tempat seperti Tiongkok. Hingga Mei 2024, Tiongkok sebagai negara pengekspor terbesar di dunia mengalami pertumbuhan ekspor 7.6% (YoY), lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya, yaitu sebesar 6%. Hal ini menandakan adanya peningkatan permintaan global yang berdampak kepada meningkatnya permintaan peti kemas. Pertumbuhan impor Tiongkok hanya mencapai 1.8% (YoY), sejalan dengan masih rentannya konsumsi domestik di sana. Kelangkaan peti kemas juga diperparah dengan peningkatan kebutuhan peti kemas oleh produsen pembuat kendaraan listrik di Tiongkok untuk pengiriman sebelum berlakunya penerapan tarif yang lebih tinggi oleh Amerika. Akibat kelangkaan peti kemas, rata-rata harga peti kemas di Tiongkok telah mencapai harga tertinggi di dua tahun terakhir, kenaikan sekitar 112% dalam kurun waktu 2 bulan terakhir.
Penambahan lama waktu perjalanan kapal juga berimbas kepada kemacetan pelabuhan (port congestion). Laporan dari Linerlytica menunjukkan setidaknya ada 3 pelabuhan besar global yang saat ini sedang mengalami kemacetan yaitu Shanghai/Ningbo, Jebel Ali/UAE, dan Singapura. Total volume kapal yang terjebak dalam kemacetan ini mencapai angka 2 juta TEUs atau hampir setara 7% dari kapasitas armada global.
Asia Tenggara merupakan wilayah dengan kemacetan terburuk yang menyumbang 26% dari total kemacetan, sedangkan Asia Timur Laut menyumbang 23% dari total kemacetan. Data pelacakan kapal S&P juga menunjukkan adanya 50 kapal kontainer dengan antrian mencapai satu minggu untuk berlabuh maupun sudah berlabuh di pelabuhan Shanghai akibat dari kemacetan ini. Sedangkan di pelabuhan Singapura, kapal-kapal peti kemas harus mengantri hingga tujuh hari untuk dapat berlabuh dengan total kapasitas kapal yang tertahan mencapai 450.000 TEUs. Sekitar 90% kapal kontainer tiba di luar jadwal, dibandingkan dengan rata-rata sekitar 77% pada tahun 2023. Disrupsi kemacetan di pelabuhan Singapura juga menyebar ke pelabuhan tetangganya di Malaysia, Port Klang.
Data Sea Intelligence juga menunjukkan hal yang sama bahwa waktu transit rute Asia – Mediterania meningkat rata-rata sebesar 39%, dan rute Asia – Eropa Utara mencapai 15%. Kemacetan yang terjadi ini membuat keterlambatan dan ketidaksesuaian jadwal kapal-kapal MLO hingga membatalkan kunjungan ke pelabuhan tertentu atau melakukan perubahan rute yang memperburuk aliran ketersediaan peti kemas kosong. Kemacetan pelabuhan ini kemudian berkontribusi dalam memperparah peningkatan tarif angkutan laut global.
Kenaikan tarif angkutan laut mempunyai konsekuensi terhadap meningkatnya inflasi global. Studi International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2022, menunjukkan jika tarif angkutan transportasi laut meningkat dua kali lipat, inflasi global akan meningkat sebesar 0.7 persen. Kenaikan inflasi global ini meningkat secara bertahap seiring waktu yang mencapai puncaknya setelah satu tahun dan dapat bertahan hingga 18 bulan. Dapat disimpulkan bahwa dampak kenaikan tarif angkutan laut tidak akan langsung mempengaruhi kenaikan inflasi global, tetapi bertahap meningkat seiring waktu berjalan.
Di saat yang bersamaan, permintaan global terus mengalami peningkatan menjelang akhir tahun akibat dari musim liburan Natal dan tahun baru. Organisasi perdagangan dunia (WTO) memproyeksikan perdagangan barang global akan tumbuh masing-masing sebesar 2.6% dan 3.3% pada tahun 2024 dan 2025, lebih dari dua kali lipat pada pertumbuhan 1% yang terjadi pada tahun 2023. Penurunan inflasi yang terjadi di beberapa negara juga membuka ruang moneter bagi bank sentral untuk mulai menurunkan suka bunga. Penurunan suku bunga ini berpotensi meningkatkan permintaan juga. Dengan demikian, inflasi bisa berpotensi meningkat kembali akibat tekanan dari sisi penawaran (peningkatan tarif angkutan laut) dan sisi permintaan (pemulihan permintaan global).
Ketegangan geopolitik di sepanjang Laut Merah dan Timur Tengah serta genosida di Palestina menjadi awal terjadinya perubahan pola pengangkutan barang secara global. Konflik menyebabkan penambahan lama waktu perjalanan angkutan laut barang yang berdampak pada ketidakseimbangan peti kemas berujung kemacetan pelabuhan. Di saat yang bersamaan, permintaan global terus meningkat sejalan peningkatan aktivitas perekonomian global.
Belajar dari pandemi Covid-19 kemarin, ketidaksiapan logistik dalam mewadahi peningkatan permintaan global memberikan konsekuensi peningkatan tarif angkutan atau freight rates secara ekstrim. Peningkatan tarif angkutan laut sudah terbukti meningkatkan inflasi global yang menjadi momok permasalahan bagi banyak negara hingga saat ini. Hal ini jelas tidak memberikan kemenangan dan keuntungan bagi siapapun. Konflik yang berkelanjutan akan terus memberikan dampak peningkatan biaya logistik melalui kenaikan tarif angkutan.
Cepat atau lambat, semua negara akan merasakan dampak negatif dari sisi ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan global terus diperlukan untuk perdamaian dan penyelesaian konflik dan ketidakpastian untuk mencegah dampak ekonomi dan sosial yang semakin parah dan berkelanjutan.
Penulis:
Ebi Junaidi & Aji Putera Tanumihardja
Senior Ekonom dan Ekonom Samudera Indonesia Research Initiatives (SIRI)